Pagi itu, langit Jakarta mendung. Di antara tumpukan sampah di belakang Pasar Kramat Jati, seorang remaja kurus tampak sibuk memilah botol plastik dan kardus bekas. Namanya Deni Satria, usia 19 tahun. Dengan tangan penuh kotoran dan peluh yang membasahi wajah, ia tetap tersenyum—senyum yang tidak biasa bagi anak muda yang hidup di garis kemiskinan ekstrem.
Namun siapa sangka, remaja yang dulu hidup dari hasil memulung ini berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana dengan predikat cumlaude dari universitas ternama. mg4d Kisah Deni bukan sekadar cerita perjuangan, tapi juga kisah keajaiban hidup yang mengharukan, menggugah, menginspirasi, dan menghebohkan.
Awal yang Penuh Derita
Deni lahir dari keluarga yang sangat miskin. Ayahnya seorang pemulung, sementara ibunya mengamen di angkot. Mereka tinggal di bedeng sempit yang hanya berdinding terpal dan atap seng bocor. Makanan sehari-hari kadang hanya nasi dengan garam atau air rebusan daun singkong.
“Saya sering tidur dalam keadaan lapar. Kadang ibu pura-pura kenyang agar saya bisa makan,” kenang Deni, suaranya lirih saat diwawancarai.
Saat masih SD, Deni sudah ikut membantu orang tuanya mengais sampah di pagi hari sebelum sekolah. Tak jarang, ia diejek teman-temannya karena bau badannya dan seragamnya yang lusuh. Tapi Deni tidak peduli.
“Aku nggak malu jadi anak pemulung. Yang penting aku sekolah,” katanya.
Matahari Harapan di Tengah Gelapnya Hidup
Semua berubah saat Deni duduk di kelas 3 SMP. Ia mengikuti lomba menulis esai tentang “Impian Masa Depan” dan menulis dengan penuh semangat tentang cita-citanya menjadi guru.
Tulisannya ternyata memikat hati juri, yang salah satunya adalah dosen dari sebuah universitas swasta ternama. “Tulisan Deni sangat menyentuh. Bukan karena dia miskin, tapi karena dia punya semangat yang luar biasa,” ujar sang dosen, Ibu Retno, yang kemudian menjadi mentor Deni.
Dari situlah, bantuan demi bantuan mulai berdatangan. Ia diberi beasiswa sekolah hingga lulus SMA. Namun bukan berarti jalan hidupnya mulus. Saat SMA, ibunya meninggal karena sakit yang tak sempat diobati. Ayahnya menyusul dua tahun kemudian akibat kecelakaan saat bekerja malam hari.
Deni kehilangan segalanya… kecuali mimpi dan tekadnya.
Menggugah Banyak Hati: Belajar di Bawah Lampu Jalan
Meski yatim piatu dan tak punya rumah tetap, Deni tak pernah absen sekolah. Ia belajar di masjid, di emperan toko, dan bahkan di bawah lampu jalanan.
“Saya nggak punya listrik, jadi setiap malam saya belajar di dekat tiang lampu,” ujarnya.
Warga sekitar mengenalnya sebagai anak baik, sopan, dan ulet. Banyak yang mulai memperhatikan perjuangannya. Ada yang membelikan buku, ada pula yang memberinya makanan. Bahkan satu warung kopi mengizinkan Deni belajar di sana setiap malam.
Sebuah foto Deni yang belajar di bawah lampu jalan kemudian viral di media sosial. Dalam foto itu, ia tampak duduk bersila di trotoar, dikelilingi buku-buku lusuh, dengan wajah serius menatap halaman catatannya. Foto itu mengundang ribuan komentar dan simpati.
Menghebohkan Dunia Maya: “Pemulung Jadi Sarjana Cumlaude”
Ketika Deni dinyatakan lulus dari Universitas Negeri Jakarta dengan IPK 3.94, seluruh hadirin di wisuda berdiri memberikan tepuk tangan. Rektor menyebutnya sebagai “simbol perjuangan anak bangsa yang sesungguhnya.”
Media-media besar seperti Kompas, Detik, bahkan media internasional mulai meliput kisah Deni. Tagar #DeniSatria sempat menjadi trending topic di Twitter. Banyak orang mengaku menangis membaca kisah hidupnya.
“Deni mengajarkan kita bahwa takdir bisa diubah dengan niat dan kerja keras,” tulis seorang netizen.
Bahkan seorang menteri pendidikan menyebut Deni sebagai inspirasi bagi jutaan pelajar Indonesia yang hidup dalam keterbatasan.
Menginspirasi Generasi Muda: Kembali untuk Mengajar
Bukannya mencari kerja di kota besar dengan gaji tinggi, Deni justru memilih kembali ke kampung tempat ia dibesarkan. Ia kini mengajar di sekolah dasar tempat ia dulu menimba ilmu.
“Saya ingin jadi guru karena saya tahu rasanya belajar dalam keadaan serba kekurangan. Saya ingin jadi cahaya buat anak-anak yang hidup seperti saya dulu,” ujar Deni.
Setiap minggu, ia juga mengadakan kelas gratis di musholla untuk anak-anak pemulung dan pengamen. Ia mengajar dengan penuh semangat, tak hanya pelajaran sekolah, tapi juga nilai-nilai hidup: kesabaran, kejujuran, kerja keras, dan harapan.
Penolakan dan Kebanggaan
Meski kini jadi panutan banyak orang, Deni juga pernah ditolak saat pertama kali mendaftar kuliah. “Saya pernah ditolak hanya karena saya bawa ijazah dengan plastik sobek,” ceritanya sambil tersenyum. Tapi ia tidak menyerah. Ia terus mencoba hingga akhirnya diterima dengan beasiswa penuh.
“Saya tidak bangga karena jadi sarjana. Saya bangga karena saya tidak menyerah,” tegasnya.
Kini, ia sedang menyiapkan buku berjudul “Hidup di Antara Sampah dan Mimpi”—sebuah autobiografi yang mengisahkan perjuangannya dari pemulung hingga menjadi pendidik.
Epilog: Sebuah Surat dari Masa Lalu
Di kamar kontrakannya yang sederhana, Deni menyimpan satu benda yang sangat berharga: surat dari ibunya yang ditulis sebelum meninggal.
“Deni, jangan berhenti bermimpi. Walau dunia menginjakmu, tetaplah berdiri. Kamu akan jadi cahaya, Nak.”
Surat itu ia baca setiap kali merasa lelah atau putus asa.
“Surat itu yang bikin saya bangkit. Saya merasa ibu masih ada, dan saya ingin membanggakannya,” katanya dengan mata berkaca.
Penutup
Kisah Deni Satria bukan sekadar kisah sukses. Ia adalah simbol harapan. Bahwa keterbatasan bukan akhir segalanya. Bahwa pendidikan bisa mengubah hidup siapa saja, selama ada tekad, kerja keras, dan sedikit kebaikan dari orang-orang sekitar.
Deni telah membuktikan bahwa dari tumpukan sampah pun, bisa lahir bintang yang bersinar terang.
Ia mengajarkan kita semua bahwa hidup, betapapun kelamnya, selalu memberi ruang untuk harapan.